Sultan Baabullah Melawan Portugis
Raja Ternate yang sangat gigih melawan Portugis adalah Sultan Hairun. Beliau dengan tegas menentang usaha Portugis untuk melakukan monopoli perdagangan di Ternate. Rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melakukan perlawanan. Rakyat menyerang dan membakar benteng-benteng Portugis. Portugis kewalahan menghadapi perlawanan tersebut.
Dengan kekuatan yang lemah, tentu saja Portugis tidak mampu menghadapi perlawanan. Oleh karena itu, pada tahun 1570 dengan licik Portugis menawarkan tipu perdamaian. Sehari setelah sumpah ditandatangani, de Mosquito mengundang Sultan Hairun untuk menghadiri pesta perdamaian di benteng. Tanpa curiga Sultan Hairun hadir, dan kemudian dibunuh oleh kaki tangan Portugis.
Peristiwa ini menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat Maluku dan terutama Sultan Baabullah, putra Sultan Hairun. Bersama rakyat, Sultan Baabullah bertekad menggempur Portugis. Pasukan Sultan Baabullah memusatkan penyerangan untuk mengepung benteng Portugis di Ternate. Lima tahun lamanya Portugis mampu bertahan di dalam benteng yang akhirnya menyerah pada tahun 1575 karena kehabisan bekal. Kemudian Portugis melarikan diri ke Timor Timur.
Perlawanan Aceh
Sejak Portugis dapat menguasai Malaka, Kerajaan Aceh merupakan saingan terberat dalam dunia perdagangan. Para pedagang muslim segera mengalihkan kegiatan perdagangannya ke Aceh Darussalam. Melihat kemajuan Aceh ini, Portugis selalu berusaha menghancurkannya, tetapi selalu menemui kegagalan. Di antara raja-raja Kerajaan Aceh yang melakukan perlawanan adalah sebagai berikut.
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1514–1528)
Berhasil membebaskan Aceh dari upaya penguasaan bangsa Portugis.
2. Sultan Alaudin Riayat Syah (1537–1568)
Berani menentang dan mengusir Portugis yang bersekutu dengan Johor.
3. Sultan Iskandar Muda (1607–1636)
Raja Kerajaan Aceh yang terkenal sangat gigih melawan Portugis adalah Iskandar Muda.
Pada tahun 1615 dan 1629, Iskandar Muda melakukan serangan terhadap Portugis di Malaka. Kemunduran Aceh mulai terlihat setelah Iskandar Muda wafat dan penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani (1636–1841). Tetapi setelah Aceh dipimpin oleh Sultan Safiatuddin (1641–1675), Aceh tidak bisa berbuat banyak mempertahankan kebesarannya.
Perlawanan Sultan Hasanudin
Ketika VOC datang ke Maluku untuk mencari rempah-rempah, Makassar juga dijadikan daerah sasaran untuk dikuasai. VOC melihat Makassar sebagai daerah yang menguntungkan karena pelabuhannya ramai dikunjungi pedagang dan harga rempah-rempah sangat murah. VOC ingin menerapkan monopoli perdagangan namun ditentang oleh Sultan Hasanuddin.
Pada bulan Desember 1666, armada VOC dengan kekuatan 21 kapal yang dilengkapi meriam, mengangkut 600 tentara yang dipimpin Cornelis Speelman tiba dan menyerang Makassar dari laut. Arung Palaka dan orang-orang suku Bugis rival suku Makassar membantu VOC menyerang melalui daratan. Akhirnya VOC dengan sekutu-sekutu Bugisnya keluar sebagai pemenang. Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang berisi:
- Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makassar;
- Belanda mendirikan benteng pertahanan di Makassar;
- Bone dan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya terbebas dari kekuasaan Gowa.
- Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone
Sultan Hasanuddin tetap gigih, masih mengobarkan pertempuran-pertempuran. Serangan besar-besaran terjadi pada bulan April 1668 sampai Juni 1669, namun mengalami kekalahan. Akhirnya Sultan tak berdaya, namun semangat juangnya menentang VOC masih dilanjutkan oleh orang-orang Makassar. Karena keberaniannya itu, Belanda memberi julukan Ayam Jantan dari Timur kepada Sultan Hasanuddin.
Perlawanan Mataram Terhadap VOC
Setelah berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Sultan Agung mengalihkan perhatiannya pada VOC (Kompeni) di Batavia. VOC di bawah pimpinan Jan Pieterzoon
Coen berusaha mendirikan benteng untuk memperkuat monopolinya di Jawa. Niat VOC (kompeni) tersebut membuat marah Sultan Agung sehingga mengakibatkan Mataram sering
bersitegang dengan VOC (kompeni)
Serangan pertama dilakukan pada tahun 1628. Pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Baurekso, yang tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. Selanjutnya, menyusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, dan kedua bersaudara yaitu Kiai Dipati Mandurejo dan Upa Santa.
Serangan kedua dipersiapkan dengan lebih matang. Serangan dimulai pada tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. Perlawanan pasukan Mataram yang kedua terpaksa mengalami kegagalan karena kekurangan bahan pangan, senjata, terserang wabah penyakit, dan kelelahan setelah menempuh jarak yang jauh.