3.1.a.10. Aksi Nyata

 Praktik Menjadi Pengambil Keputusan 
Sebagai Pemimpin Pembelajaran

Oleh : 54_J2_Suseno
CGP Angkatan 2 
Kabupaten Kebumen

PERISTIWA (FACT)

Seorang guru terkadang harus mengembang tugas tambahan  yang kerap dihadapkan pada suatu permasalahan di kelas maupun dalam kaitan dengan tugas tambahan yang diembannya. Hal itu terjadi pada diri saya. Selain menjadi guru saya diberikan amanah untuk menjadi wakil kepala sekolah. Banyak hal yang menjadi tanggungjawab saya dan terkadang mengharuskan saya untuk cepat mengambil langkah yang tepat dalam setiap permasalahan. 

Salah satunya saat ada seorang staff Penjaga Gedung dan Taman Sekolah (PGTS) sakit selama lebih dari satu bulan. Karena sudah sering sakit dan izin tidak masuk, maka berinisiatif untuk menggantikan posisinya dengan putranya. Hal ini dilakukan agar beliau tetap dapat meneruskan pengobatan diluar cuti sakit dan sekolah mendapatkan haknya walaupun bukan langsung pegawai yang bersangkutan.

Seorang pegawai yang sedang sakit berhak mendapat haknya untuk cuti dalam tanggungan negara. Namun pada cuti memiliki batasan tertentu. Apabila sakitnya berkepanjangan maka yang bersangkutan dapat mengajukan pensiun dini dengan alasan sakit. Namun melihat statusnya sebagai kepala keluarga dan tulang punggung, berat rasanya jika harus pensiun dini. 

Sebagai warga sekolah tentu merasa kasihan jika beliau pensiun dini. Namun disisi lain menggantikan posisi dengan anaknya juga bukan hal yang dibenarkan secara aturan. Karena batas waktu cuti sakitnya sudah habis. Sedangkan sakitnya masih dideritanya. Disinilah ditemukan paradigma Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy) 

Pada saat rapat Kepala Sekolah, Wakil dan Kepala TU, diusulkan meminta beliau tetap berangkat bekerja walaupun memang tidak maksimal agar tetap tercatat sebai pegawai. Dilain pihak sekolah tetap berharap putranya tetap membantu sekolah jika tugas-tugasnya tetap berjalan maksimal. Disini muncul masalah, karena putranya bekerja tidak dibayar hanya menggantikan. Disatu sisi jika tidak ada yang menggantikan akan membebani PGTS lain, namun jika putranya yang menggantikan, kami merasa kasihan akan masa depan putranya.

Kasus yang dialami oleh rekan PGTS kami ini merupakan kasus dilema etika, yang dalam pengambilan keputusannya tergolong dalam prinsip Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking) dan Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking). 

Beragam pendapat yang disampaikan mulai dari rekan guru lain serta kepala sekolah ditampung dan dilakukan pengujian pengambilan keputusan, dalam kasus ini kami melakukan 9 langkah konsep pengambilan dan pengujian hasil keputusan untuk mendapatkan keputusan yang tepat. 9 langkah pengujian dan pengambilan keputusan adalah :

1. Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan

2. Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini

3. Kumpulkan fakta-fakta yang relevan

4. Pengujian benar atau salah

a. Uji legal (pilihannya membuat keputusan mematuhi hukum atau tidak

b. Uji Regulasi ( mematuhi kode etik atau tidak)

c. Uji Intuisi (tindakan ini sejalan atau berlawanan dengan nilai yang diyakini)

d. Uji Halaman Depan Koran

e. Uji Panutan/Idola (keputusan panutan/idola kita)

5. Pengujian Paradigma Benar lawan Benar

6. Melakukan Prinsip Resolusi

7. Investigasi Opsi Trilema

8. Buat Keputusan

9. Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan

Melalui 9 langkah tersebut kami memperoleh sebuah keputusan yaitu memberikn coaching, meminta beliau tetap berangkat bekerja agar terhibur dari sakitnya. Kemudian mengangkat putranya sebagai karyawan agar bisa mendapatkan haknya Ketika bekerja, bukan sekedar menggantikan posisi ayahnya. 

PERASAAN (FEELINGS)

Perasaan saya ketika melakukan aksi nyata ini adalah awalnya ada keraguan mengenai keputusan yang telah diambil bukanlah keputusan yang tepat. Namun beberapa pertimbangan yaitu keputusan yang diambil telah berpihak pada semua pihak dan sudah dikonsultasikan dengan komite sekolah. Keputusan yang diambil demi kepentingan banyak orang dan tidak merugikan pihak yang lain, serta dapat dipertanggungjawabkan.

PEMBELAJARAN (FINDINGS)

Pembelajaran yang saya peroleh melalui aksi nyata ini adalah saya dapat melatih kemampuan saya dalam menerapkan langkah-langkah pengujian dan pengambilan keputusan, sehingga keputusan yang saya peroleh merupakan keputusan terbaik.

PENERAPAN (FUTURE)

Rencana perbaikan untuk pelaksanaan di masa mendatang adalah:

  1. Berkomitmen dalam menjalankan keputusan yang telah saya ambil.
  2. Jika menghadapi situasi atau masalah di kelas atau di sekolah baik itu dilema etika atau bujukan moral maka perlu membicarakannya secara bersama-sama dengan berbagai pihak yang berkompeten.
  3. Akan melakukan evaluasi terhadap langkah atau proses pengambilan keputusan yang telah saya lakukan dalam mengambil keputusan.


Share:

Aksi Nyata Modul 3.3 PROGRAM YANG BERDAMPAK PADA MURID

 


APERSEPSI
(AJUKAN PERTANYAAN SETIAP HARI)

Oleh: SUSENO, S.Pd.

Fact (Peristiwa)

Latar Belakang

Laporan hasil studi PISA tahun 2018 menunjukan bahwa untuk kategori kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat ke-74 dari 79 negara. Aktifitas membaca belum menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi di masa pandemi covid-19 merubah banyak hal dalam kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Pendidikan dipaksa dilaksanakan dari rumah dengan dibimbing oleh orang tua. Anak lebih akrab dengan gawai yang digunakan sebagai sarana pembelajaran jarak jauh dalam jaringan, dibandingkan dengan buku. Hal ini berdampak pada kurangnya minat baca anak terhadap buku dan aktifitas membaca bermakna. Anak cenderung lebih banyak berkutat dengan gawainya untuk bermain game atau bersosial media.

Setelah kebijakan PTMT diterapkan anak mulai kembali berangkat ke sekolah dan sedikit menjauh dengan gawainya. Namun untuk memulai kembali budaya membaca buku harus melalui perjuangan yang tidak mudah. Minat baca yang rendah ini membawa dampak pada kegiatan pembelajaran tersendat. Oleh karena itu upaya peningkatan literasi melalui program APERSEPSI (Ajukan Pertanyaan Setiap Hari) ini diharapkan dapat meningkatkan budaya literasi dan kesiapan belajar siswa di SMPN 1 Ayah. Pada saat siswa membaca maka diharapkan menemukan data/fakta baru yang belum dipahami, sehingga munculah pertanyaan. Pertanyaan inilah yang kemudian ditulis dan disampaikan dalam kegiatan pembelajaran.

Deskripsi Aksi Nyata

Program APERSEPSI bertujuan meningkatkan budaya membaca. Dengan membiasakan diri membaca buku diharapkan siswa muncul rasa ingin tahu lebih dan muncul banyak pertanyaan dan dapat menuliskan sebagai bahan/acuan guru dalam pembelajaran. Sehingga guru memiliki pemahaman terhadap kesiapan dan profil belajar murid. Berbekal modal inilah maka pembelajaran yang dilakukan guru menjadi berpusat pada murid karena titik awal pemahaman dari pertanyaan siswa itu sendiri.

Tahap Pelaksanaan

Sebelum dimulai program ini, CGP berkonsultasi dengan kepala sekolah tentang rencana program yang berdampak kepada murid. Alhamudlillah kepala sekolah mendukun dan memberi kesempatan CGP untuk melakukan sosialisasi kepada guru dan wali murid. Selanjutnya CGP melakukan sosialisasi program kepada guru pada forum berbagi komunitas praktisi. Wali Kelas melakukan sosialisasi kepada wali murid. Dan yang terakhir guru melakukan sosialisasi kepada murid dan menerapkan kegiatan Apersepsi sebagai bagian dari proses pembelajaran di kelas.

Dalam pelaksanaan APERSEPSI di lapangan, ada beberapa cara yang diterapkan guru. Pertama menyampaikan materi satu hari sebelumnya agar siswa membaca dan membuat pertanyaan di rumah. Ada juga guru yang menyampaikan bahan sepekan sebelumnya dan siswa meminta membuat pertanyaan untuk pertemuan yang akan dating. Ada juga guru yang langsung melakukan pada hari itu juga dengan memberi kesempatan membaca 5-10 menit dan meminta siswa membuat pertanyaan ditulis di kertas maupun di papan tulis.

Setelah pertanyaan tersampaikan, guru memberi kesempatan kepada siswa lain untuk menemukan jawaban dari pertanyaan temannya. Guru melakukan pengelompokan pertanyaan berdasar urutan kompetensi/materi dan menganalisis tingkat kesukaran soal. Guru mempersilahkan siswa secara bergantian menyampaikan jawabannya berdasar nomor soal yang sudah diurutkan oleh guru. Guru memberi apresiasi terhadap setiap jawaban siswa dan memberi penguatan agar lebih mengena. Langkah terakhir siswa bersama guru menyimpulkan hasil pembelajaran hari itu dan melakukan refleksi akhir.

Pada minggu pertama banyak siswa belum dapat membuat pertanyaan dengan baik. Siswa harus diarahkan untuk menemukan masalah yang mereka tidak pahami. Bahkan beberapa siswa tidak tahu mata pelajaran hari itu karena salah membaca jadwal. Alhasil untuk dapat sampai pada tujuan pembelajaran memerlukan waktu yang cukup lama.

Pada minggu kedua, siswa sudah memiliki bekal soal dari rumah dan tidak hanya satu untuk agar tidak sama dengan teman-temannya. Tidak ada lagi siswa yang salah jadwal karena guru mengingatkan kegiatan pembelajaran satu hari sebelumnya. Jenis pertanyaan mulai bervariasi, dan antusiasme siswa dalam menjawab lebih meningkat.  

Pada minggu ketiga, semua siswa mampu menunjukan kemampuan menulis pertanyaan dengan baik. Siswa sudah berani maju menulis pertanyaan dan menjawab tanpa menunggu diperintah. Pembelajaran lebih efektif dan siswa merasa lebih senang dan antusias sampai semua soal terjawab sebelum waktu habis. Guru memiliki lebih banyak waktu untuk memberi penguatan materi dan menyampaikan refleksi serta rencana pembelajaran yang akan datang.

Feeling (Perasaan)

Saya merasa senang siswa bersemangat membaca agar dapat membuat pertanyaan yang menarik. Pembelajaran lebih bermakna karena apa yang dibahas adalah dating dari pertanyaan siswa. Siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berlatih bertanya maupun menjawab. Karena biasanya hanya didominasi siswa tertentu yang aktif saja. Sedangkan siswa lain menjadi malasa atau memang enggan karena tidak tertarik. Yang membuat saya sedikit sedih adalah kemampuan membuat pertanyaan mayoritas masih pada level 1 (ingatan) hal ini harus ditingkatkan lagi.

Saya merasa bahagia dapat berbagi dan mengajak rekan guru lain mencoba menerapkan di kelas mereka. Tentu saja dengan menyesuaikan jenis mapel dan materi saat itu. Beberapa guru sudah mencoba menerapkan dan dapat berjalan dengan baik dan tentu saja dengan beberapa catatan perbaikan di masa datang.

      Finding (Pembelajaran)

Hambatan yang ditemui

Pada saat membuat pertanyaan masih ada siswa yang hanya menyalin dari buku, belum mampu memproduksi pemikirannya sendiri. Hal ini menjadi catatan agar guru juga membiasakan diri tidak membuat soal yang teksbook, karena akan mudah ditebak oleh siswa.

Masih ditemukan siswa yang tidak siap mengikuti pembelajaran dibuktikan denga nada yang salah jadwal dan jika sudah tidak mau membaca buku sebelum pembelajaran. Hal ini mendorong guru agar dapat memberi motivasi belajar dan membuat kesadaran akan pentingnya membaca.

Keberhasilan yang Diraih

Kemampuan bertanya dapat diasah dimulai dengan membaca. Kelas yang semula pasif karena guru menyampaikan materi secara monoton sedangkan siswa hanya mendengar saja,  menjadi aktif dan berpusat pada siswa. Selain itu kesempatan berpartisipasi dalam pembelajaran aktif sangat membantu siswa mengembangkan dirinya. Anak yang tidak biasa menyampaikan pertanyaan lisan secara langsung, mendapat kesempatan yang sama dengan cara menuliskannya terlebih dahulu.

 

Future (Rencana Penerapan ke Depan)

Setiap siswa dapat mengajukan pertanyaan dan tidak terbatas pada apa yang ada di buku, namun dihubungkan dengan realita di lingkungannya. Kemampuan ini yang harus didorong agar pembelajaran semakin berkualitas karena berbasis masalah yang ada di lingkungan sekitar. Pelibatan orang tua perlu diintensifkan lagi, dan menjadi bagian dari sasaran program ini misalkan dengan mengajukan pertanyaan kepada putra/putrinya tentang materi pembelajaran di sekolah. Sehingga ada control terhadap proses dan kemajuan pembelajaran putra/putrinya. Selain itu bagi guru diharapkan dapat mengarahkan siswa agar dapat menemukan pemahamannya sendiri dengan selalu menerapkan pembelajaran yang berpusat pada murid. Bagaimanapun pengalaman belajar siswa inilah yang akan menjadi bekal masa depan, bukan nilai atau isi materinya, melainkan kebiasaan atau budaya belajar yang akan menentukan masa depan siswa.


Share:

3.2.a.9. Koneksi Antar Materi - Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

 3.2.a.9. Koneksi Antar Materi - 
Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

Oleh : Suseno, S.Pd.

Instruktur/Fasilitator : Does Ichnatun D.S
Pengajar Praktik : Irwan S. Warsito


"If you change the way you look at things, the things you look at change."

Dr. Wayne Dyer

Buatlah kesimpulan tentang apa yang dimaksud dengan ‘Pemimpin Pembelajaran  dalam Pengelolaan Sumber Daya’ dan bagaimana Anda bisa mengimplementasikannya di dalam kelas, sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah.

Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya artinya guru sebagai pemimpin harus mampu memaksimalkan potensi dan kekuatan yang ada di sekolah dengan pendekatan berbasis aset. Pendekatan  berbasis aset (Asset-Based Thinking) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Dr. Kathryn Cramer, seorang ahli psikologi yang menekuni kekuatan berpikir positif untuk pengembangan diri. Pendekatan ini merupakan cara praktis menemukan dan mengenali hal-hal yang positif dalam kehidupan, dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir, kita diajak untuk memusatkan perhatian pada apa yang bekerja, yang menjadi inspirasi, yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif.

Hal ini berlawanan dengan kebiasaan kita pada umumnya yang memandang sesuatu berdasar masalah/kekurangan sebagai pijakan awal ketika melangkah. Alih-alih akan meringkankan langkah, justru menambah beban dengan banyaknya masalah. Hal ini kemudian berubah menjadi stigma negative bahwa perubahan itu berat, perlu banyak dana, dan segala prasayarat yang belum dimiliki sekolah. Paradigma atau pendekatan berbasis kekurangan/masalah (Deficit-Based Thinking) ini harus segera diakhiri dalam budaya manajemen sekolah saat ini. 

Bagaimana mengimplementasikan peran guru sebagai pemimpin pembelajaran berbasis aset baik dalam lingkup kelas, sekolah, dan masyarakat sekitar, yang harus diupayakan oleh guru di antaranya adalah: 1) memetakan potensi 7 aset/modal utama yang dimiliki sekolah; 2) mengkoordinasikan dan menyelaraskan sumber daya yang ada dengan seluruh stake holder; 3) memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan dengan kolaborasi antar guru mapel; 4) melakukan monitoring dan evaluasi efektifitas pemanfaatan asset sekolah.

Jelaskan dan berikan contoh bagaimana hubungannya pengelolaan sumber daya yang tepat akan membantu proses pembelajaran murid menjadi lebih berkualitas.  

Pengelolaan sumber daya yang tepat akan membantu proses pembelajaran murid menjadi lebih berkualitas. Hal ini dapat terjadi ketika guru sudah memetakan asset yang dimiliki dan merancang pembelajaran sesuai dengan apa yang dimiliki sekolah. Strategi pemanfaatan aset sekolah tersebut dapat berupa media maupun sumber belajar. Misalkan anak belajar dengan memanfaatkan lingkungan alam sebagai sumber belajar, maka siswa dapat melihat secara langsung berbagai fenomena alam (asset lingkungan alam) yang setiap hari mereka lihat sehingga pembelajaran lebih konteksual. Pembelajaran menjadi hal yang tidak membosankan dan anak merasa lebih senang dan bahagia. 

Contoh lain dalam pembelajaran mobilitas social, siswa diarahkan untuk melakukan wawancara dengan orang tua, tetangga dan tokoh masyarakat sekitar (asset manusia) sebagai narasumber. Anak memanfaatkan teknologi berupa handphone yang mereka miliki (asset finansial) untuk mendokumentasikan proses wawancaranya. Pemanfaatan asset manusia ini meningkatkan kualitas pembelajaran karena memberi pengalaman langsung dan nyata dari orang/tokoh di sekitarnya. Akan berbeda jika yang dilakukan hanya membaca kisah di buku saja.

Berikan beberapa contoh bagaimana materi ini juga berhubungan dengan materi lain yang Anda dapatkan sebelumnya selama mengikuti proses Pelatihan Guru Penggerak.

Setelah mempelajari modul 3.2 tentang pemimpin dalam pengelolaan sumber daya, terdapat kaitan erat dengan modul-modul sebelumnya. Misal pada modul 1.1 tentang filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara tentang kekuatan kodrat alam dan kodrat zaman juga berkaitan dengan modul 3.2. Kodrat alam dan kodrat zaman merupakan aset yang melekat untuk mengembangkan ekosistem pembelajaran sekolah agar lebih berkualitas dan berpihak pada murid. Nilai dan peran guru penggerak (modul 1.2) seperti mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid sangat dibutuhkan dalam pengelolaan sumber daya tersebut. 

Guru juga harus memiliki visi dan misi yang kuat terkait perannya sebagai agen transformasi di sekolah (modul 1.3). Guru akan mampu mengupayakan penyelarasan sumber daya yang dimiliki oleh sekolah sehingga kelemahan sekolah menjadi tidak relevan lagi, melainkan lebih terfokus pada kekuatan sumber daya yang dimiliki oleh sekolah. Inkuiri apresiatif dengan pendekatan BAGJA sangat relevan untuk melakukan perubahan sekolah berbasis sumber daya yang akan menggerakkan warga sekolah untuk melakukan perubahan positif. Perubahan positif yang dilakukan secara konsisten akan melahirkan budaya positif di sekolah (modul 1.4).

Setelah guru memetakan sumber daya berupa modal manusia (murid) yang ada, maka guru dapat mengupayakan pembelajaran berdiferensiasi yang memfasilitasi perbedaan minat dan bakat murid (modul 2.1). Kekuatan individual dalam diri murid tersebut bisa dikembangkan lebih lanjut dalam pembelajaran kompetensi sosial dan emosional (KSE) (modul 2.2). Kemudian untuk memaksimalkan potensi dan kekuatan murid agar berdampak terhadap prestasi murid dapat dilakukan dengan coaching (modul 2.3).  

Ceritakan pula bagaimana hubungan antara sebelum dan sesudah Anda mengikuti pelatihan terkait modul ini, serta pemikiran apa yang sudah berubah di diri Anda setelah Anda mengikuti proses pembelajaran dalam modul ini.

Sebelum mempelajari modul ini saya selalu memandang sesuatu berdasar masalah/ kekurangan/ apa yang belum berjalan sebagai pijakan awal ketika melangkah dalam menyusun rencana program. Alih-alih akan meringkankan langkah, justru menambah beban dengan banyaknya masalah. Hal ini kemudian berlanjut menjadi stigma negative bahwa perubahan itu berat, perlu banyak dana, dan segala prasayarat yang belum dimiliki sekolah. Banyak hal baik/positif yang dimiliki namun tidak dapat dimanfaatkan dengan baik karena beban hal negatif yang menghantui. 

Setelah mempelajari modul 3.2 ini dan melakukan refleksi, ternyata pola pikir saya selama ini salah. Jika kita hanya berkutat pada kelemahan, tentu sulit untuk maju. Untuk melakukan transformasi pendidikan di sekolah perlu menerapkan pendekatan berbasis aset dan kekuatan. Dengan pendekatan tersebut, sekolah akan berfokus pada kekuatan apa yang dimiliki sehingga memudahkan untuk melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan, dan pelaksanaan rencana program yang berpihak pada murid.


Share:

3.1.a.9. Koneksi Antarmateri - Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran

3.1.a.9. Koneksi Antarmateri - Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran

Oleh : Suseno, S.Pd.

Instruktur/Fasilitator : Does Ichnatun D S
Pengajar Praktik : Irwan S. Warsito

“Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”

(Teaching kids to count is fine but teaching them what counts is best).

Bob Talbert

Kutipan tersebut mengingatkan kembali bahwa hakikat Pendidikan bukanlah pengajaran ansich. Lebih dari sekedar mengajarkan kemampuan menghitung atau hal-hal yang bersifat kognitif kemudian melihat keberhasilan hanya berdasar nilai saja. Ada hal lain yang lebih penting selain nilai yaitu sikap dan keterampilan untuk berhasil hidup dalam masyarakat dan menjadi warga negara yang baik. Apalah arti nilai yang tinggi jika tidak memiliki sikap/akhlak yang baik dalam masyarakat. Guru harus menyeimbangkan semua itu dan tentu saja yang utama adalah akhlak (budi pekerti). 

Share:

Sistem Tanam Paksa di Indonesia

(1) Tanaman kopi, (2) tanaman kakao, (3) tanaman the, (4) tanaman tembakau,
jenis tanaman perkebunan komoditas ekspor pada jaman penjajahan Belanda

Pada awal abad XX Belanda sedang menghadapi perang di Eropa atau perang melawan Belgia. Pada saat yang bersamaan, Belanda juga sedang berperang melawan Pangeran Diponegoro tahun 1825-1830. Belanda mengalami kerugian keuangan yang besar. Untuk menutupi kekurangan keuangan dan mempercepat penambahan pundi-pundi keuangan negara, Belanda berusaha meningkatkan ekspor perdagangannya. Saat itu yang menjadi komoditas utama ekspor dari Indonesia adalah tanaman perkebunan. karena Belanda mengalami kondisi yang seperti itu, maka pemerintah Belanda melalui Gubernur Johannes van Den Bosh menerapkan kebijakan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830. 

Gubernur Johannes van den BOSH

Dalam pelaksanaanya sistem tanam paksa ini sangat memberatkan masyarakat Indonesia. Bukan hanya itu saja, banyak sekali penyelewengan sehingga menambah penderitaan masyarakat Indonesia. Praktik penyelewengan yang membuat masyarakat Indonesia semakin menderita antara lain yaitu; dalam ketentuan tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari tanah yang dimiliki rakyat, namun kenyataannya lebih bahkan sampai ½ bagian dari tanah yang dimiliki rakyat, Belanda mewajibkan untuk ditananami kopi, teh, tebu, kakao, dan tarum atau nila. 

Hasil tanaman ini nantinya akan dijual dengan harga yang sudah ditentukan oleh Belanda, juga hasil panen harus diserahkan semua kepada pemerintah kolonial. Selain itu waktu untuk wajib kerja juga melebihi dari 66 hari, dan mereka bekerja tanpa imbalan atau tidak diberi upah. Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib juga tetap dikenakan pajak, dan masih lagi praktik pemaksaan lain yang membuat masyarakat Indonesia saat itu menderita. 

Dibandingkan dengan sistem monopoli VOC, sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam, karena pada praktiknya tanam paksa ini sangat memberatkan masyarakat Indonesia di waktu itu. Akibat tanam paksa ini, angka kematian rakyat Indonesiapun tinggi karena kelaparan dan penyakit kekurangan gizi. 

Douwes Dekker (Multatuli)

Banyak pihak yang bersimpati kepada rakyat Indonesia, dan mengecam sistem tanam paksa ini. Mereka menuntut agar tanam paksa dihapuskan, bahkan kecaman pun datang dari kalangan orang Belanda sendiri.  Mereka adalah Douwes Dekker dan Baron van Hoevel. Douwes Dekker terkenal dengan nama pena Multatuli, dia seorang penulis terkenal Belanda dengan bukunya yang berjudul Max Havelaar, buku ini berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang pribumi Indonesia. 

Akhirnya tanam paksa atau culturrstelsel dihentikan di tahun 1870, setelah muncul berbagai kritik juga dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula (suiker wet).

Share:

PENGARUH SISTEM SEWA TANAH PADA MASA PENJAJAHAN INGGRIS


Jika diperhatikan gambar Kebun Raya Bogor di atas adalah tempat pusat ilmu pengetahuan yang menyimpan berbagai jenis koleksi tanaman. Kebun Raya Bogor ini sudah berdiri sejak abad 19 yang merupakan bukti dari adanya pengaruh bangsa Inggris di tanah Indonesia.

Bagaimana ceritanya Inggris bisa menguasai wilayah Indonesia ? sekitar awal Abad 19 terjadi perang yang melibatkan Prancis dengan Belanda. Raja Belanda yang bernama Willem V mengalami kekalahan tetapi berhasil meloloskan diri ke Inggris. Kemudian Willem V Membuat maklumat yang memberikan Perintah untuk pejabat di daerah jajahan Belanda untuk memberikan wilayahnya kepada Inggris. maklumat ini ditujukan supaya daerah jajahan Belanda agar tidak dikuasai oleh Perancis.

Ketika Indonesia dikuasai Inggris, Gubernur Jenderal Lord Minto membagi wilayah Hindia Belanda menjadi empat gubernement, yang terdiri atas : Maluku, Jawa, Melaka dan Sumatera. Tidak seberapa lama, kemudian Lord Minto memberikan kekuasaan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Thomas Stamford Raffles.

Pada masa Gubernur Jenderal Raffles membuat suatu kebijakan yang dinamakan sewa tanah atau landrent system. Secara umum kebijakan ini mempunyai aturan sebagai berikut:

  1. petani mempunyai kewajiban menyewa tanah yang digarapnya meskipun tanah tersebut adalah miliknya
  2. harga atau biaya sewa terhadap tanah tersebut tergantung pada kualitas dan kondisi tanah
  3. sistem pembayaran sewa tanah dilaksanakan secara tunai
  4. sedangkan bagi yang tidak mempunyai tanah dikenakan sistem pajak kepala

Sistem sewa tanah ini memiliki beberapa kelemahan sehingga sulit diterapkan di wilayah Indonesia pada saat itu. Hal ini disebabkan karena :

  1. rakyat Indonesia di pedesaan belum mengenal sistem uang
  2. adanya keterbatasan jumlah dan kualitas pegawai
  3. adanya kesulitan dalam menentukan besaran pajak karena tanah yang dimiliki rakyat karena luasnya tidak sama
  4. kesulitan dalam menentukan tingkat kesuburan tanah yang dimiliki petani

Berlakunya sistem sewa tanah ini diperuntukkan kepada semua wilayah di pulau Jawa kecuali daerah Batavia dan Parahyangan. Hal ini dikarenakan daerah Parahyangan khusus diwajibkan menanam kopi yang membawa keuntungan besar bagi pemerintah Inggris, sedangkan Batavia sudah menjadi kota yang tanahnya sebagian besar dimiliki swasta.

Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan oleh Gubernur Jendral Raffles didasarkan pada teori domein, Teori itu menyatakan bahwa tanah milik petani pada dasarnya merupakan tanah milik raja, maka setelah wilayah Indonesia dikuasai Inggris secara otomatis tanah tersebut menjadi hak milik dari pemerintah Inggris. Oleh karena itu petani tidak mempunyai hak milik tanah yang digarapnya, sebagai ganti untuk terus menggarap tanah untuk pertanian maka dia harus menyewa tanah itu kepada pemerintah Inggris dengan sejumlah Nominal uang tertentu. Kebijakan Raffles itu terkenal dengan nama landrete Raffles.


Share: